Kondisi Pantai Pesisir Kota Cirebon Rusak
Kondisi pantai Kota Cirebon sepanjang 7 kilometer saat ini dalam kondisi memprihatinkan. Sekitar 20 persennya mengalami kerusakan yang cukup parah. Kerusakan ini terjadi karena keadaan iklim yang memang berubah-ubah serta masyarakat yang justru menebangi pohon bakau untuk kebutuhan mereka sehari-hari. "Karena itu harus ditanami pohon pelindung yang menghindari abrasi," kata Kepala Dinas Kelautan, Perikanan, Peternakan dan Pertanian (DKP3) Kota Cirebon, Odi Supriyadi, hari ini.
Tahun ini Dinas Kelautan menargetkan penanaman 14 ribu pohon bakau di sepanjang pesisir Kota Cirebon. "Mangrove itu akan ditanam di tempat-tempat yang lebih terlindung, sehingga bisa tumbuh dan tidak hilang karena terbawa ombak," kata Odi usai penanaman 7 ribu pohon bakau di Pelabuhan Cirebon. Selanjutnya, kata Odi, masyarakat diminta turut menjaga kelestarian dengan menghentikan penebangan pohon bakau.
Sementara itu Adminstrator Pelabuhan Cirebon, Wahyu Widayat, menjelaskan penanaman 7 ribu pohon di pesisir pantai Kota Cirebon tidak lain dilakukan untuk melindungi dan menjaga kelestarian lingkungan. "Pemerintah memiliki program untuk menjaga kelestarian lingkungan pantai, diantaranya dengan melakukan penanaman mangrove ini," katanya.
Menurut Fadel Mohamad, sepanjang 530 kilometer pesisir utara Jawa rusak parah. "Tak ada mangrove, dan abrasi terus menggerogoti daratan," katanya. Kondisi ini semakin terasa sejak dasawarsa 1980-an, ketika pengusaha dan nelayan ramai-ramai membuat tambak. Harga udang yang tinggi mendorong mereka menebang hutan mangrove. Ketika itu, pemerintah menjadikan udang sebagai salah satu primadona ekspor.
Untuk menggenjot produktivitas dan menghadapi penyakit, para petambak menggunakan zat-zat kimia. Belakangan, tambak-tambak konvensional tersebut jadi lahan tidak produktif. Rata-rata umur tambak konvensional telah habis, yang ditandai dengan meningkatnya gejala "siklus racun" tahunan.
Para ahli menyimpulkan, kegagalan panen budi daya udang dalam tambak konvensional merupakan akibat hilangnya tegalan mangrove di kawasan tersebut. Luas hutan mangrove memang makin merosot sejak awal 1980-an. Ketika itu, ada 5,5 juta hektare mangrove di Tanah Air. Pada 1996 anjlok jadi 2,5 juta hektare. Dan pada 2000-an diperkirakan tersisa 2 juta hektare.
Selain tambak, alih fungsi hutan mangrove untuk permukiman, industri, dan kepentingan ekonomis lainnya. "Padahal hutan mangrove memiliki fungsi ekologis yang sangat besar," ujar Cecep Kusmana, pakar mangrove dan guru besar Institut Pertanian Bogor. Fungsi-fungsi tersebut, kata Cecep, sebagai tempat berkembangbiaknya ikan di perairan, filter polutan logam berat dari perairan laut, mengatur siklus hara, mengikat sedimen dari sungai, dan tempat singgah burung-burung migran serta habitat bagi satwa liar.
Peran lain yang sangat penting adalah mengurangi dampak langsung tsunami, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak dan tiupan angin, serta pengendali intrusi air laut ke daratan. Fungsi ini jadi penting karena semakin naiknya paras muka air laut sebagai dampak perubahan iklim. "Tiap tahun rata-rata terjadi kenaikan 8 milimeter di pesisir Pekalongan," kata Subandono Diposaptono, Direktur Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pada 2007, keluar Undang-Undang Nomor 27 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Aturan ini melarang siapa pun yang merusak ekosistem mangrove. Termasuk untuk industri, permukiman, dan kegiatan lainnya. Pemerintah kemudian menyusun konsep rehabilitasi mangrove secara terpadu. Di sisi lain, terbentuk Kelompok Kerja Mangrove Nasional.
Kelompok kerja ini memadukan beberapa kementerian, instansi pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya. Termasuk para ahli dan aktivis lembaga swadaya masyarakat. "Agar tidak terjadi tumpang-tindih program," kata Subandono, yang menjadi ketua kelompok kerja. Pada sejumlah daerah, terbentuk pula kelompok kerja mangrove.
Akhir tahun lalu, terbentuk kelompok kerja di Kabupaten Pekalongan. Visi mereka adalah, pada 2015, hutan mangrove di Pekalongan tumbuh sehat dan bermanfaat. Sedangkan misinya, antara lain, menumbuhkembangkan mangrove, mewujudkan masyarakat pesisir sadar lingkungan, serta terbentuknya insan dan kelompok pelestari mangrove. Misi terakhir adalah mewujudkan keseimbangan ekologi dan ekonomi pesisir.
Ketua Komisi Kelautan Dewan Perwakilan Rakyat Ahmad Muqowam. Menurut Hadi, pemerintah harus memberikan dukungan kepada kelompok masyarakat yang selama ini menanam dan merawat hutan mangrove.
Keseimbangan fungsi ekologi dan ekonomis juga disuarakan oleh Nyoto Santoso, mantan Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. "Perlu pengelolaan mangrove berkelanjutan," katanya. Dia mencatat, selama sepuluh tahun terakhir, muncul kelompok-kelompok di masyarakat yang peduli. Hal ini seiring dengan program rehabilitasi dan mitigasi wilayah pesisir.
Memang pada periode 2003-2009, Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan penanaman hutan mangrove sebanyak 1,4 juta batang pohon. Ada 280,1 hektare wilayah pesisir di seluruh Indonesia yang telah direhabilitasi. Program yang sama dilakukan oleh LPP Mangrove dan kelompok swadaya masyarakat lainnya.
Nyoto menilai dibutuhkan penguatan kelembagaan bagi kelompok masyarakat, sehingga mereka dapat menjaga keseimbangan dua fungsi tersebut. Hutan mangrove, kata dia, tidak hanya menjadi wahana riset, tapi juga tempat budi daya dan wisata. Nyoto mencontohkan, di Thailand terdapat resort di hutan mangrove.
Memang, sejak dasawarsa 1990-an, muncul gagasan silvofishery atau sering disebut wanamina. Konsep ini memadukan kegiatan produksi perikanan dengan pelestarian hutan mangrove. Dari gagasan ini, pengelolaan tambak tidak dilakukan secara konvensional. Hal ini seiring dengan kecenderungan masyarakat di negara maju untuk mengonsumsi makanan organik, termasuk udang organik. Perairan tambak dengan silvofishery ternyata mengandung merkuri 14 kali lebih rendah dibanding tambak tanpa mangrove sama sekali.
Menurut Nyoto, kelompok mangrove di daerah perlu juga membuat keunikan pengelolaannya. Dia mencontohkan, di Pemalang, hutan mangrove-nya menghasilkan kepiting soka. Memang, selain ikan (bandeng, patin, kerapu, kakap, sidat), udang, dan kepiting, hutan mangrove jadi habitat rajungan, pohon bakau, nipah, dan lebah bakau. Tampaknya, hutan mangrove tak hanya three in one, tapi juga five in one bagi budi daya perikanan, bakau, nipah, dan lebah, sekaligus sebagai tempat riset dan wisata.
@dari berbagai sumber
Komentar