Tragedi Bentrokan di Makam Mba Priok

Ketika kemarin sedang berselancar didunia maya, mencari berita tentang perkembangan bentrokan mbah priok, saya menemukan sebuah tulisan opini yang sangat menarik untuk dibaca, tulisan tersebut ditulis oleh Nyoman Brahmandita yang dimuat di portal inilah.com. dan berikut opini beliau, selamat membaca :

Belum genap satu pekan Satuan Polisi Pamong Praja alias Satpol PP merayakan hari jadinya yang ke-60. Tetapi Satpol PP sebagai fungsi pemerintahan yang harus mengemong rakyat, justru menjelma menjadi musuh rakyat.


Bentrokan antara Satpol PP DKI Jakarta melawan masyarakat Koja, Jakarta Utara sepanjang hari Rabu (14/4) kemarin lebih mirip peperangan. Saling serbu, saling serang. Pukulan berbalas gebukan. Lempar melempar batu pun laiknya hujan batu.

Puluhan atau mungkin ratusan korban dari dua kubu pun berjatuhan. Apapun inti persoalannya, seharusnya bentrokan yang berujung pada kerusuhan itu sama sekali tidak perlu terjadi.

Bentrokan antara Satpol PP dengan masyarakat telah amat sering terjadi. Hanya satu hari sebelumnya (Selasa, 13/4), misalnya, Satpol PP Kota Tangerang sudah lebih dulu bentrok dengan masyarakat Cina Benteng di Kelurahan Sewan, Cisadane, Tangerang.

Peristiwa kerusuhan di Koja, Jakarta Utara kemarin itu, menunjukkan realitas sosial bahwa masyarakat selama ini tidak menaruh simpati kepada Satpol PP. Cara-cara yang dipilih Satpol PP dalam menjalankan tugas-tugasnya menegakkan peraturan daerah, seringkali justru menimbulkan sikap antipati dari masyarakat.

Ulah oknum-oknum Satpol PP yang seringkali terlihat semena-mena, sewenang-wenang, asal gusur, dan tidak manusiawi, membuat citra Satpol PP di mata masyarakat sedemikian buruknya. Ini tentu sangat ironis.

Betapa tidak, nama satuan polisi milik pemerintah daerah ini diberi imbuhan ‘Pamong Praja’. Imbuhan Pamong Praja ini memiliki makna yang menempatkan Satpol PP sebagai sarana milik pemerintah daerah yang seharusnya mengemong masyarakatnya.

Mengemong berarti mengasuh. Mengasuh, antara lain, dapat dimengerti sebagai upaya membimbing, menjaga, dan mengajari dengan pendekatan-pendekatan yang manusiawi.

Tetapi, dalam kenyataannya, Satpol PP saat menjalankan tugas-tugasnya menegakkan perda tak ubahnya seperti mesin atau sekedar alat pemerintah daerah untuk menindas masyarakat. Satpol PP yang seharusnya bertugas menegakkan ketertiban dan menciptakan ketentraman sebagaimana yang diatur dalam perda, justru berubah menjadi monster yang sangat menakutkan.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya, sama sekali tidak tercermin makna dari pengertian Pamong Praja itu. Tidak terlihat dengan jelas sikap-sikap yang mengemong, mengasuh, membimbing, menjaga dan mengajari. Sangat jarang terlihat pola-pola pendekatan yang persuasif, namun sebaliknya lebih sering mengutamakan pendekatan yang represif dan ofensif.

Kasus ‘peperangan’ antara Satpol PP dengan masyarakat Koja, Jakarta Utara, kemarin, membuktikan pendekatan represif dan ofensif masih menjadi pilihan favorit Satpol PP dalam menjalankan tugas-tugasnya. Apa yang terjadi kemarin sangat bertentangan dengan pidato Gubernur DKI Jakarta dalam perayaan hari jadi Satpol PP yang sangat meriah di Silang Monas, pada Kamis (8/4) pekan lalu.

Coba saja simak kutipan pidato Gubernur DKI Jakarta saat perayaan tersebut. “Tuntutan dan paradigma masyarakat semakin berkembang. Sehingga kebijakan, keluwesan, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan situasi strategis menjadi suatu keharusan dan itu semua merupakan pekerjaan rumah bagi Satpol PP.”

Juga terdapat himbauan dari Gubernur DKI Jakarta yang meminta Satpol PP DKI Jakarta agar lebih meningkatkan profesionalitasnya. Dengan demikian, diharapkan Satpol PP dapat bersama-sama dengan masyarakat membina komunikasi yang intensif dan baik, agar dapat mengurangi pandangan masyarakat yang negatif terhadap Satpol PP.

Agaknya, bahasa dan kalimat yang dipilih Gubernur DKI dalam pidatonya itu terlalu tinggi, terlalu filosofis, berada di awang-awang, sehingga susah diserap, dicerna, dan dipahami oleh para petugas Satpol PP di lapangan. Boro-boro petugas Satpol PP di lapangan, Kepala Satpol PP DKI Jakarta pun belum tentu paham bagaimana cara mewujudkan isi pidato itu menjadi kenyataan di lapangan.

Maka bisa jadi, pidato itu saat diucapkan cuma numpang lewat melalui telinga kanan, untuk kemudian segera keluar di telinga kiri. Dan naskah pidato itu pun sekedar menjadi lembar catatan yang mempertebal tumpukan arsip pemda.

Kalau memang isi dan makna pidato itu benar-benar dipahami oleh seluruh anggota Satpol PP DKI Jakarta dari bos paling atas hingga pasukan di lapangan, maka mustahil terjadi perang kemarin. Jadi, sebenarnya, pidato itu tak lebih dari sekedar formalitas seremonial belaka tanpa makna.

Alih-alih dapat mengurani pandangan masyarakat yang negatif, sebagaimana diharapkan dalam pidato tadi, yang terjadi justru sikap antipati dan kebencian masyarakat yang makin memuncak. Maka tidak heran, bila di sela-sela kerusuhan itu sempat beredar isu, masyarakat akan menyerbu kantor Walikota Jakarta Utara.

Melihat sikap antipati masyarakat itu, maka syair lagu para mahasiswa demonstran angkatan 1998 yang memplesetkan lagu mars ABRI, perlu diplesetkan lagi. “Satuan Polisi Pamong Praja, tidak berguna, bubarkan saja, diganti menwa, ya sama saja, lebih baik diganti pramuka!”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

3 Tokoh Wanita yang Berperan Dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Keluar Duluan

BIODATA H. BAMUNAS SETIAWAN BOEDIMAN, MBA