Administrasi Negara Buruk Hambat Kinerja
Banyaknya keterlambatan yang terjadi dalam proses pergantian kepengurusan sejumlah lembaga dan komisi negara diyakini menunjukkan sistem administrasi pemerintahan yang tidak tertib serta kacau balau.
Sistem yang ada seperti itu dipercaya tidak mampu membuat pemerintahan, terutama Presiden, bekerja efektif mengantisipasi amanat konstitusi dan perundang-undangan terkait kelanjutan dan keberadaan lembaga serta komisi negara tadi.
Tidak hanya itu, kelambatan dan penundaan disinyalisasi juga bisa menjadi indikasi rendahnya tingkat kepedulian pemerintah terhadap keberadaan berbagai lembaga dan komisi negara itu.
Semua penilaian tadi terangkum dalam perbincangan Kompas dengan sejumlah kalangan, yang dihubungi, Selasa (20/7/2010). Mereka antara lain ahli hukum tata negara Irmanputra Sidin, Ketua Ombudsman Republik Indonesia Antonius Sujata, dan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti.
"Selama ini kesalahan dan ketidakberesan administrasi negara macam itu kan dianggap sebagai suaut kesalahan yang bisa dimaafkan. Padahal seharusnya itu jadi masalah serius karena pastinya pemerintah melanggar amanat aturan yang ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang. Jadi bisa menjadi pelanggaran UU oleh pemerintah atau dalam hal ini presiden," ujar Irman.
Dia mencontohkan kasus terakhir yang terjadi pada Komisi Yudisial, yang belakangan harus diperpanjang masa kerja komisionernya. Seperti diwartakan, Ketua KY Busyro Muqodas mengaku sudah dua kali melayangkan surat pemberitahuan kepada Presiden soal tenggat waktu masa kepengurusannya.
Irman menegaskan secara praktis di lapangan kesalahan memang dimulai dari lemahnya kinerja para menteri kabinet, dalam hal ini Menteri Sekretaris Negara, yang seharusnya bertanggung jawab mengingatkan Presiden soal mana pejabat negara yang sudah akan habis masa kerjanya.
"Tapi tetap kalau dilihat dalam konteks aturan perundang-undangan, kesalahan seperti itu adalah tanggung jawab seorang presiden dan bukan menterinya. Dia tidak mampu membenahi birokrasi internal rumah tangganya sendiri. Kalau memang mau bicara reformasi birokrasi, presiden harus mulai dari dalam rumah tangga istananya sendiri," tegas Irman.
Irman lebih lanjut juga mengingatkan DPR sebagai lembaga legislatif yang juga ikut bertanggung jawab lantaran mereka punya kewenangan dan tanggung jawab sebagai lembaga pengontrol sekaligus pengawas.
Kinerja mereka juga turut dipertanyakan lantaran tidak mampu menjalankan kewenangannya. Dalam kesempatan terpisah Ikrar menyindir, selain punya kinerja administrasi negara yang buruk, carut marut yang terjadi diyakini boleh jadi merepresentasikan sikap pemerintah, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang tidak peduli dan tidak mau direpotkan oleh keberadaan sejumlah lembaga dan komisi negara tadi.
"Kalau kejadiannya begitu, berarti pemerintah tidak fair. Kalau lembaga dan komisi negara tersebut tidak dibutuhkan lagi dan dianggap menambahi pekerjaan presiden, ya dibubarkan saja. Ada kemungkinan presiden memang tidak peduli lagi dengan keberadaan berbagai lembaga produk reformasi tadi," ujar Ikrar.
Lebih lanjut Ikrar mengaku kondisi seperti itu bisa menimbulkan kecurigaan, Pemerintah sebenarnya malah memanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Misalkan saja terkait berlarut-larutnya proses seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Gubernur Bank Indonesia.
"Mengapa misalnya, posisi Gubernur BI sempat dibiarkan kosong selama setahun. Padahal kan posisi itu punya kewenangan dan tanggung jawab strategis serta vital terkait kebijakan moneter nasional. Mungkin saja dengan tidak berfungsinya lembaga-lembaga itu, presiden bisa mendapat keuntungan," ujar Ikrar.
Sementara itu Antonius Sujata menilai kondisi seperti itu menunjukkan kondisi ketidakacuhan pemerintah dalam mengelola negara. Kondisi itu berdampak memunculkan mal-administrasi yang menghambat pemberian pelayanan yang maksimal dan prima terhadap publik oleh pemerintah.
Sistem yang ada seperti itu dipercaya tidak mampu membuat pemerintahan, terutama Presiden, bekerja efektif mengantisipasi amanat konstitusi dan perundang-undangan terkait kelanjutan dan keberadaan lembaga serta komisi negara tadi.
Tidak hanya itu, kelambatan dan penundaan disinyalisasi juga bisa menjadi indikasi rendahnya tingkat kepedulian pemerintah terhadap keberadaan berbagai lembaga dan komisi negara itu.
Semua penilaian tadi terangkum dalam perbincangan Kompas dengan sejumlah kalangan, yang dihubungi, Selasa (20/7/2010). Mereka antara lain ahli hukum tata negara Irmanputra Sidin, Ketua Ombudsman Republik Indonesia Antonius Sujata, dan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti.
"Selama ini kesalahan dan ketidakberesan administrasi negara macam itu kan dianggap sebagai suaut kesalahan yang bisa dimaafkan. Padahal seharusnya itu jadi masalah serius karena pastinya pemerintah melanggar amanat aturan yang ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang. Jadi bisa menjadi pelanggaran UU oleh pemerintah atau dalam hal ini presiden," ujar Irman.
Dia mencontohkan kasus terakhir yang terjadi pada Komisi Yudisial, yang belakangan harus diperpanjang masa kerja komisionernya. Seperti diwartakan, Ketua KY Busyro Muqodas mengaku sudah dua kali melayangkan surat pemberitahuan kepada Presiden soal tenggat waktu masa kepengurusannya.
Irman menegaskan secara praktis di lapangan kesalahan memang dimulai dari lemahnya kinerja para menteri kabinet, dalam hal ini Menteri Sekretaris Negara, yang seharusnya bertanggung jawab mengingatkan Presiden soal mana pejabat negara yang sudah akan habis masa kerjanya.
"Tapi tetap kalau dilihat dalam konteks aturan perundang-undangan, kesalahan seperti itu adalah tanggung jawab seorang presiden dan bukan menterinya. Dia tidak mampu membenahi birokrasi internal rumah tangganya sendiri. Kalau memang mau bicara reformasi birokrasi, presiden harus mulai dari dalam rumah tangga istananya sendiri," tegas Irman.
Irman lebih lanjut juga mengingatkan DPR sebagai lembaga legislatif yang juga ikut bertanggung jawab lantaran mereka punya kewenangan dan tanggung jawab sebagai lembaga pengontrol sekaligus pengawas.
Kinerja mereka juga turut dipertanyakan lantaran tidak mampu menjalankan kewenangannya. Dalam kesempatan terpisah Ikrar menyindir, selain punya kinerja administrasi negara yang buruk, carut marut yang terjadi diyakini boleh jadi merepresentasikan sikap pemerintah, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang tidak peduli dan tidak mau direpotkan oleh keberadaan sejumlah lembaga dan komisi negara tadi.
"Kalau kejadiannya begitu, berarti pemerintah tidak fair. Kalau lembaga dan komisi negara tersebut tidak dibutuhkan lagi dan dianggap menambahi pekerjaan presiden, ya dibubarkan saja. Ada kemungkinan presiden memang tidak peduli lagi dengan keberadaan berbagai lembaga produk reformasi tadi," ujar Ikrar.
Lebih lanjut Ikrar mengaku kondisi seperti itu bisa menimbulkan kecurigaan, Pemerintah sebenarnya malah memanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Misalkan saja terkait berlarut-larutnya proses seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Gubernur Bank Indonesia.
"Mengapa misalnya, posisi Gubernur BI sempat dibiarkan kosong selama setahun. Padahal kan posisi itu punya kewenangan dan tanggung jawab strategis serta vital terkait kebijakan moneter nasional. Mungkin saja dengan tidak berfungsinya lembaga-lembaga itu, presiden bisa mendapat keuntungan," ujar Ikrar.
Sementara itu Antonius Sujata menilai kondisi seperti itu menunjukkan kondisi ketidakacuhan pemerintah dalam mengelola negara. Kondisi itu berdampak memunculkan mal-administrasi yang menghambat pemberian pelayanan yang maksimal dan prima terhadap publik oleh pemerintah.
Komentar