Mudik Lebaran dan Tradisi Yang Keliru
Wahai, manusia. Hiasilah hubungan dengan kerabatmu
untuk mencari ridha Allâh Ta'ala. Dengan bersilaturahmi, keberkahan umur
dan rizki akan di raih dan derajat mulia akan tercapai di sisi Allâh
Ta'ala. Ketahuilah, silaturahmi dengan sanak kerabat dan famili
merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allâh Ta'ala.
Dari Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan ditambah umurnya,
maka hendaklah melakukan silaturrahmi. [1]
maka hendaklah melakukan silaturrahmi. [1]
Dari Abdullah bin Amr radhiyallâhu'anhu, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Sesungguhnya bukanlah orang yang menyambung silaturahmi
adalah orang yang membalas kebaikan,
namun orang yang menyambung silaturahmi adalah
orang yang menyambung hubungan
dengan orang yang telah memutuskan silaturahmi.[2]
adalah orang yang membalas kebaikan,
namun orang yang menyambung silaturahmi adalah
orang yang menyambung hubungan
dengan orang yang telah memutuskan silaturahmi.[2]
TRADISI 'MUDIK LEBARAN' DALAM TINJUAN ISLAM
Sebagian besar kaum Muslimin di negeri kita mengira,
bahwa mudik lebaran ada kaitannya dengan ajaran Islam, karena terkait
dengan ibadah bulan Ramadhan. Sehingga banyak yang lebih antusias
menyambut mudik lebaran daripada mengejar pahala puasa dan lailatul qadr.
Dengan berbagai macam persiapan, baik tenaga, finansial, kendaraan,
pakaian dan oleh-oleh perkotaan. Ditambah lagi dengan gengsi bercampur
pamer, mewarnai gaya mudik. Kadang dengan terpaksa harus menguras kocek
secara berlebihan, bahkan sampai harus berhutang.
Menjelang Hari Raya 'Iedul Fitri, kantor pegadaian
menjadi sebuah tempat yang paling ramai dipadati pengunjung yang ingin
berhutang. Padahal yang benar, mudik tidak ada kaitannya dengan ajaran
Islam karena tidak ada satu perintahpun baik dari Al-Qur’an maupun As
Sunnah yang menyatakan bahwa, setelah menjalankan ibadah Ramadhan harus
melakukan acara silaturahmi untuk kangen-kangenan dan maaf-maafan,
karena silaturahmi bisa dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan dan
kondisi.
Apabila yang dimaksud mudik lebaran sebagai bentuk
kegiatan untuk memanfaatkan momentum dan kesempatan untuk menjernihkan
suasana keruh dan hubungan yang retak, sementara tidak ada kesempatan
yang baik kecuali hanya waktu lebaran, maka demikian itu boleh-boleh
saja. Namun, bila sudah menjadi suatu yang lazim dan dipaksakan, serta
diyakini sebagai bentuk kebiasaan yang memiliki kaitan dengan ajaran
Islam, atau disebut dengan istilah tradisi Islami, maka demikian itu
bisa menjadi bid’ah dan menciptakan tradisi yang batil dalam ajaran
Islam.
Sebab seluruh macam tradisi dan kebiasaan yang tidak
bersandar pada petunjuk syariat merupakan perkara bid’ah dan tertolak,
sebagaimana sabda Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allâh,
patuh dan taat walaupun dipimpin budak habasyi.
Karena siapa yang masih hidup dari kalian, akan melihat perselisihan yang banyak.
Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku
dan sunnah para khulafaur rasyidin yang memberi petunjuk.
Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.
Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah),
karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.
(Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
patuh dan taat walaupun dipimpin budak habasyi.
Karena siapa yang masih hidup dari kalian, akan melihat perselisihan yang banyak.
Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku
dan sunnah para khulafaur rasyidin yang memberi petunjuk.
Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.
Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah),
karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.
(Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
SILATURAHMI YANG SESUAI DENGAN SUNNAH
Makna silaturahmi, secara bahasa adalah dari lafadz rahmah, yang berarti lembut dan kasih sayang.
Abu Ishaq rahimahullâh berkata:
“Dikatakan paling dekat rahimnya adalah orang yang paling dekat kasih sayangnya dan paling dekat hubungan kekerabatannya”.[3]
Imam Al-Allamah Ar-Raghib Al-Asfahani rahimahullâh
berkata, bahwa ar-rahim berasal dari rahmah, yang berarti lembut yang
memberi konsekuensi berbuat baik kepada orang yang disayangi. [4]
Oleh sebab itu, silaturrahmi merupakan bentuk
hubungan dekat antara bapak dan anaknya, atau seseorang dengan
kerabatnya dengan kasih sayang yang dekat, sebagaimana firman Allâh
Ta'ala:
"Dan bertakwalah kepada Allâh,
yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain
dan peliharalah hubungan silaturahim."
(QS An Nisa‘:1)
yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain
dan peliharalah hubungan silaturahim."
(QS An Nisa‘:1)
Silaturahmi dan berbuat baik kepada orang tua dan
sanak kerabat merupakan urusan yang sangat penting, kewajiban yang
sangat agung, dan amal salih yang memiliki kedudukan mulia dalam agama
Islam, serta merupakan aktifitas ibadah yang sangat mulia dan berpahala
besar. Banyak nash, baik dari Al-Qur‘an dan Sunnah yang memberi motivasi
untuk silaturahmi dan mengancam siapa saja yang memutuskannya dengan
ancaman berat.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya :
"(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allâh sesudah perjanjian itu teguh
dan memutuskan apa yang diperintahkan Allâh (kepada mereka) untuk menyambungnya
dan membuat kerusakan di muka bumi.
Mereka itulah orang-orang yang rugi."
(QS Al Baqarah : 27)
dan memutuskan apa yang diperintahkan Allâh (kepada mereka) untuk menyambungnya
dan membuat kerusakan di muka bumi.
Mereka itulah orang-orang yang rugi."
(QS Al Baqarah : 27)
Pada ayat di atas terdapat anjuran agar setiap muslim melakukan silaturrahmi dengan kerabat dan sanak famili.
Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullâh berkata:
“Pada ayat di atas, Allâh
menganjurkan agar menyambung hubungan dengan sanak kerabat dan orang
yang mempunyai hubungan rahim dan tidak memutuskannya”.[5]
Oleh sebab itu, hendaknya setiap muslim melakukan
silaturrahmi dengan sanak kerabat, baik dengan saudara laki-laki dan
saudara perempuan, baik sekandung maupun hanya saudara sebapak atau
seibu, atau sepersusuan. Semua hendaklah saling menyayangi, menghormati
dan menyambung hubungan kekerabatan, baik pada saat berdekatan maupun
berjauhan.
Dari Aisyah radhiyallâhu'anha, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Rahim adalah syajnah (bagian limpahan rahmat)[6] dari Allâh.
Barangsiapa yang menyambungnya, maka Allâh akan menyambungnya.
Dan barangsiapa yang memutuskannya, niscaya Allâh akan memutuskannya." [7]
Barangsiapa yang menyambungnya, maka Allâh akan menyambungnya.
Dan barangsiapa yang memutuskannya, niscaya Allâh akan memutuskannya." [7]
Hubungan persaudaraan, khususnya antara saudara
laki-laki dan saudara perempuan memiliki sentuhan yang sangat unik.
Yaitu sentuhan batin yang sangat lembut serta kesetiaan yang sangat
dalam. Semakin hari semakin subur, walaupun berjauhan jarak tempatnya.
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, ia berkata, bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Sesungguhnya Allâh menciptakan makhluk.
Dan setelah usai darinya, maka rahim berdiri lalu berkata:
“Ini adalah tempat orang berlindung dari pemutusan silaturrahmi”.
Maka Allâh berfirman:
“Ya. Bukankah kamu merasa senang Aku akan menyambung hubungan
dengan orang yang menyambungmu,
dan memutuskan hubungan dengan orang memutuskan denganmu?”
Ia menjawab: “Ya”.
Allâh berfirman: “Demikian itu menjadi hakmu”. [8]
Dan setelah usai darinya, maka rahim berdiri lalu berkata:
“Ini adalah tempat orang berlindung dari pemutusan silaturrahmi”.
Maka Allâh berfirman:
“Ya. Bukankah kamu merasa senang Aku akan menyambung hubungan
dengan orang yang menyambungmu,
dan memutuskan hubungan dengan orang memutuskan denganmu?”
Ia menjawab: “Ya”.
Allâh berfirman: “Demikian itu menjadi hakmu”. [8]
Barangsiapa yang memutuskan hubungan silaturrahmi
tanpa alasan syar’i, maka berhak mendapatkan sanksi berat dan kutukan
dari Allâh Ta'ala, serta diancam tidak masuk surga.
Allâh Ta'ala berfirman:
"Orang-orang yang merusak janji Allâh setelah diikrarkan dengan teguh
dan memutuskan apa-apa yang Allâh perintahkan supaya dihubungkan
dan mengadakan kerusakan di bumi.
Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan
dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)."
(QS Ar Ra’d : 25)
dan memutuskan apa-apa yang Allâh perintahkan supaya dihubungkan
dan mengadakan kerusakan di bumi.
Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan
dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)."
(QS Ar Ra’d : 25)
Dari Jubair bin Muth’im radhiyallâhu'anhu bahwa Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kerabat.[9]
KESALAHAN-KESALAHAN PADA SAAT HARI RAYA 'IEDUL FITRI
Hari Raya 'Iedul Fitri merupakan salah satu syiar
kemuliaan kaum Muslimin. Pada hari itu, kaum Muslimin berkumpul.
Jiwa-jiwa menjadi bersih dan persatuan terbentuk, Pengaruh kejelekan dan
kesengsaraan hilang. Yang nampak pada hari itu hanyalah kebahagiaan.
Namun yang pantas disesali, pada hari itu sering terjadi
kekeliruan-kekeliruan dalam merayakannya. Di antaranya:
1. | Meniru orang kafir dalam berpakaian.
Fenomena ini merupakan hal aneh. Padahal seorang muslim dan muslimah
seharusnya memiliki semangat untuk menjaga agama, kehormatan dan
fitrahnya. Jangan tergoda dengan ikutikutan meniru kebiasaan orang-orang
yang tidak menjaga kehormatannya. |
2. | Sebagian orang menjadikan hari raya
sebagai syiar melaksanakan kemaksiatan, sehingga secara terang-terangan
ia melakukan perbuatan yang diharamkan. Misalnya dengan mendengarkan
musik dan nyanyian dan memakan makanan yang diharamkan Allâh Ta'ala. |
3. | Dalam berziarah (kunjungan) tidak
memperhatikan etika Islami. Contohnya : bercampurnya laki-laki dan
perempuan yang bukan mahram, saling berjabat tangan antara laki-laki dan
perempuan yang bukan mahram. |
4. | Berlebih-lebihan dalam membuat makanan
dan minuman yang tidak berfaedah, sehingga banyak yang terbuang, padahal
banyak kaum Muslimin yang membutuhkan. |
5. | Hari Raya merupakan kesempatan yang
sangat baik untuk menyatukan hati kaum Muslimin, baik yang ada hubungan
kerabat ataupun tidak. Juga kesempatan untuk mensucikan jiwa dan
menyatukan hati. Namun pada kenyataannya, penyakit hati masih tetap saja
bercokol. |
6. | Menganggap bahwa silaturahmi hanya dikerjakan pada saat hari raya saja. |
7. | Menganggap bahwa pada hari raya sebagai saat yang tepat untuk ziarah kubur. |
8. | Saling berkunjung untuk saling maaf-memaafkan di antara para kerabat dan sanak famili dengan keyakinan saat itulah yang paling afdhal.[10] |
SILATURAHMI YANG PALING UTAMA ADALAH BIRRUL WALIDAIN
Allâh Ta'ala mewajibkan seorang anak untuk taat,
berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tuannya. Bahkan Allâh
Ta'ala menghubungkan perintah beribadah kepadaNya dengan berbuat baik
kepada kedua orang tua, sebagaimana firman Allâh Ta'ala:
Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia,
dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya
atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”,
dan janganlah kamu membentak mereka.
Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
(QS Al Isra` : 23)
dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya
atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”,
dan janganlah kamu membentak mereka.
Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
(QS Al Isra` : 23)
Birrul walidain adalah berbuat baik kepada kedua
orang tua, baik berupa bantuan materi, doa, kunjungan, perhatian, kasih
sayang, dan menjaga nama baik pada saat hidup atau setelah wafat. Orang
tua merupakan kerabat terdekat, yang banyak mempunyai jasa dan kasih
sayang yang besar sepanjang masa, sehingga tidak aneh kalau hak-haknya
juga besar.
Allâh Ta'ala berfirman :
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah
dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu,
hanya kepadaKu-lah kembalimu.
(QS Luqman : 14)
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah
dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu,
hanya kepadaKu-lah kembalimu.
(QS Luqman : 14)
KEUTAMAAN BIRUL WALIDAIN
Di dalam Al-Qur‘an dan Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu
'Alaihi Wasallam banyak disebutkan secara berulang-ulang, agar seorang
anak berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Kebaikan dan pengorbanan
orang tua tidak terhitung jumlahnya, baik berupa jiwa raga dan kekuatan,
tidak berkeluh kesah dan tidak meminta balasan dari anaknya.
Adapun anak, ia harus selalu diberi wasiat dan
diingatkan agar senantiasa mengingat terhadap jasa orang tua, yang
selama ini telah mencurahkan jiwa dan raga serta seluruh hidupnya untuk
membesarkan dan mendidiknya.
Seorang ibu, selama mengandung mengalami banyak beban
berat. Allâh Ta'ala menyebutkan, ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Ibu
lebih banyak menderita dalam membesarkan dan mengasuh anaknya.
Penderitaan ketika hamil, tidak ada yang bisa merasakan payahnya,
kecuali kaum ibu.
Imam Bukhari rahimahullâh di dalam Adabul Mufrad, dari Abu Burdah radhiyallâhu'anhu, bahwa ia menyaksikan Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu dan seorang laki-laki dari Yaman sedang melakukan thawaf -sambil menggendong ibunya di belakang punggungnya-.
Laki-laki tersebut berkata:
‘Sesungguhnya saya
menjadi tunggangannya yang tunduk, jikalau tunggangan lain terkadang
susah dikendalikan, aku tidaklah demikian’.
Lalu ia bertanya kepada Ibnu ‘Umar:
‘Wahai Ibnu Umar, apakah dengan ini saya sudah membayar jasanya?.
Beliau menjawab:
”Sama sekali belum, walaupun satu kali sengalan nafasnya (saat melahirkanmu)”[11]
Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallâhu'anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
Sesungguhnya Allâh berwasiat agar kalian berbuat baik kepada ibu-ibumu,
lalu Allâh berwasiat agar berbuat baik kepada ibu-ibumu,
kemudian Allâh berwasiat kepada bapak-bapakmu,
dan kemudian Allâh berwasiat kepada kalian agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu. [12]
lalu Allâh berwasiat agar berbuat baik kepada ibu-ibumu,
kemudian Allâh berwasiat kepada bapak-bapakmu,
dan kemudian Allâh berwasiat kepada kalian agar berbuat baik kepada sanak kerabatmu. [12]
Begitulah, anak adalah bagian hidup dan belahan hati
orang tua. Kasih sayangnya mengalir di dalam darah daging keduanya.
Seorang anak selalu merepotkan dan menyita perhatian kedua orang tuanya.
Tatkala kedua orang tua tetap berbahagia dengan keadaan putra-putrinya,
akan tetapi betapa cepatnya seorang anak melalaikan semua jasa orang
tuanya, dan hanya sibuk mengurus isteri dan anak-anaknya. Padahal
berbuat baik kepada kedua orang tua merupakan keputusan mutlak dari
Allâh Ta'ala, dan merupakan ibadah yang menempati urutan ke dua setelah
ibadah kepada Allâh Ta'ala.
Mari kita segera mulai dengan berbuat baik, menghormati dan memuliakan mereka berdua. Karena birrul walidain memiliki keutamaan.
[1] |
Lihat Shahih Abu Dawud (1486), Shahih Adabul Mufrad (56) Shahih Muslim, Bab Al Birri Washshilah, hadits ke-20.
|
[2] |
Lihat ShahihAdabil Mufrad (68), Bab Laisal Wasil Bil Mukafi’.
|
[3] |
Lihat Lisanul Arab, 5/174, Bab Dzal Wa Ra’.
|
[4] |
Lihat Mufradatul Qur‘an, hlm. 346.
|
[5] |
Lihat Tafsir Ath Thabari, Juz 1/144 dan Tafsir Ibnu Katsir, Juz 1/83.
|
[6] |
Lihat Syarah Adabul Mufrad, karya Husain Ibnu Uwadah Al Awayisyah, Juz 1/72.
|
[7] |
Lihat Silsilah Hadits Shahihah, no. 925; Adabul Mufrad, no. 55, dan Shahih Muslim, Bab Al Birri wa Ash Shilah, hadits ke-17.
|
[8] |
HR. Imam Bukhari dalam Shahih-nya dalam Kitabut Tafsir, 4830 dan Imam Muslim dalam Kitabul Birri, 6465.
|
[9] |
HR. Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Kitabul ‘Adad, Bab Itsmil
Qath’i, 5984; Muslim dalam Shahih-nya, Kitabul Birri, Bab Silaturrahim,
6467 dan Abu Dawud dalam Sunan-nya, 1696.
|
[10] |
Lihat Ahkamul ‘Idain wa ‘Asyr Dzulhijjah, karya Dr. ‘Abdullah bin Muhammad Ath Thayyar.
|
[11] |
Adabul Mufrad, hadits no. 11, Bab Jazaul Walidain. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.
|
[12] |
Shahih Adabul Mufrad, 60; Sunan Ibnu Majah, 23, Kitabul Adab dan Shilisilah Hadits Shahihah, 1666.
|
(Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (07-08)/Tahun IX) dan (Abu Ahmad Zaenal Abidin bin Syamsuddin)
Komentar