FOKE..FOKEEEE...... ADA-ADA AZA...
Ketika Si Foke Terlambat Datang ke Rakyat DKI
Ketika cagub petahana Fauzi Bowo ditanya wartawan, mau menggandeng siapa di Pilkada DKI Jakarta putaran kedua? Foke, sapaan akrab Fauzi Bowo menjawab, “Tentu saja menggandeng rakyat.” (Kompas.com, 13/07/2012).
Mungkin ini jawaban kecoplosan dari Foke, yang mencerminkan kebenaran sesungguhnya. Bahwa sebelum hasil hitung cepat Pilkada DKI 11 Juli 2012 lalu diumumkan dirinya memang tidak menggandeng rakyat (warga DKI Jakarta).
Yang dia gandeng dan yang dia andalkan itu adalah tim suksesnya, kader-kader di parpol-nya (Partai Demokrat) dan parpol pendukungnya, terutama sekali PAN. Barangkali juga dengan mengandalkan lembaga survei tertentu, yang hasil surveinya bisa dibuat berdasarkan pesanan. Foke percaya tanpa perlu menggandeng atau mendekati rakyat secara langsung, dengan kekuatan-kekuatan politik tersebut, dia bisa mempengaruhi suara warga DKI untuk memilih dia bersama pasangannya, Nachrowi Ramli. Cukup tampil seadanya di depan publik, plus Nachrowi yang disuruh aktif di lapangan.
Setelah terbukti, gagal nyaris total. Foke pun ingin mengubah strategi dengan memasang citra diri baru sebagai pimpinan yang dekat dengan rakyatnya, dengan cara turun langsung ke lapangan untuk berupaya mengambil hati rakyat (warga DKI Jakarta). Itulah sebabnya, ketika ditanya wartawan, di putaran kedua mau menggandeng siapa, Foke spontan kecoplosan menjawab, “Tentu saja, menggandeng rakyat, dong!” Berarti, ‘kan, sebelum ini dia belum menggandeng rakyat?
Tak heran, semua komentar pembaca atas berita ini pada intinya bertanya dengan “terheran-heran”, Lho, kok baru sekarang Foke mau menggandeng rakyat (warga DKI Jakarta)?
Kesan ini menjadi semakin kuat, ketika beberapa politisi dari Partai Demokrat, seperti anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Syarif Hasan, juga berseru kepada Foke-Nara agar mau lebih mendekati diri pada rakyat. “Saran saya pilkada untuk Foke adalah sasarannya dekati rakyat,” katanya (www.jpnn.com., 16/07/2012).
Logikanya, berarti sebelumnya mereka, tidak atau kurang dekat dengan rakyat? Kalau sekarang setelah mulai dijauhi rakyat Jakarta, baru mau pura-pura merakyat? Lupakah mereka bahwa warga Jakarta ini semakin cerdas dan rasional? Akan sia-sialah pencitraan palsu macam begini.
Tetapi, rupanya, Foke benar-benar konsisten dengan pernyataannya itu. Rupanya pula dia mengikuti saran-saran pendukungnya itu, kalau mau menang di putaran kedua nanti, mulai sekarang harus menunjukkan citra diri sebagai seorang pimpinan yang merakyat.
Terbukti, dari mulai kelihatan Foke tiba-tiba rajin hadir di tengah-tengah warga DKI. Mulai dari ketika sekolah-sekolah memulai tahun ajaran barunya dengan mengunjungi beberapa sekolah, berkunjung ke rumah sakit, dan tentu saja akan diteruskan safarinya ini. Apalagi sebentar lagi memasuki bulan Puasa, kemudian menjelang Lebaran, tentu momen yang sangat tepat untuk menunjukkan citra merakyat itu melalui “safari Ramadhan-nya.”
Kabar terakhir tentang mulai “merakyat”-nya Foke adalah ketika dia datang di tengah-tengah rakyat Jakarta untuk meresmikan pasar rakyat murah menjelang Ramadhan di Rawabadak, Koja, Jakarta Utara, Selasa, 17 Juli 2012. Kehadirannya itu rupanya punya pamrih, terbukti pada kesempatan itu Foke menyempatkan dirinya untuk berkampanye terselubungnya.
“Warga sini nggak merasakan banjir, kan? Kalau nggak mau banjir jangan salah pilih lagi. … “ kata Foke. Ini jelas penyampaian kampanye, menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Meskipun dia berpura-pura menutupinya dengan melanjutkan seruannya itu, “ … Jangan salah pilih tanggalnya, maksudnya.” (Kompas.com, 17/07/2012).
Warga pun serentak menyambut dengan berseru: “Kita sudah tahu!” Foke pun tersenyum senang.
Tetapi, ketika ditanya, apakah peresmian pasar murah itu merupakan bagian dari upaya mendongkrak dukungan suara di putaran kedua Pilkada DKI nanti, Foke membantahnya. “Nggak ada itu, nggak ada!”
Padahal dia baru saja mencoba mempengaruhi warga DKI yang hadir di situ dengan seruannya tersebut. Kelihatan tidak jujurnya.
Belum apa-apa Foke telah salah langkah dengan berupaya melakukan kampanye dengan memanfaatkan kebutuhan rakyat terhadap pasar murah itu.
Di sini saja Foke telah salah tiga kali.
Salah pertama, salah ucap dengan melakukan kampanye di waktu dan tempat yang salah. Saat-saat sekarang jelas tidak ada lagi kampanye dengan cara apapun.
Salah kedua, salah menafsirkan jawaban serentak warga, yang berseru “Kita sudah tahu!” Yang membuat Foke tersenyum senang. Padahal, kemungkinan besar maksud mereka adalah, ya, mereka tidak bakal salah pilih. Maka itu, mereka tidak akal melakukan kesalahan itu, dengan memilih Foke lagi, nanti di tanggal 20 September 2012. Cukup sudah dengan satu kesalahan, ketika memilihnya di pilkada DKI Jakarta 2007.
Dalam hati warga itu mengatakan, “Ya, kami sudah tahu. Tidak bakal salah pilih. Kami akan tetap memilih sesuai dengan nurani dan rasio kami: Jokowi-Ahok.”
Salah ketiga, Foke masih saja mengira suara rakyat masih bisa dibeli dengan cara-cara seperti ini. Padahal dia sudah diberitahu berkali-kali, bahwa sekarang rakyat (warga DKI) sudah cerdas, kritis dan rasional dalam menentukan calon pimpinannya.
Kekalahan Foke-Nara terhadap Jokowi-Ahok juga telah membuat kubunya panik. Dalam kepanikannya itu, Tim Suksesnya malah melakukan langkah keliru, dengan terkesan kalap menuding kubu Jokowi-Ahok telah melakukan politik uang. Tetapi kemudian tidak mampu mebuktikannya secara hukum.
Tuduhan langsung politik uang Jokowi-Ahok itu sudah tentu tidak bakal dipercaya oleh warga DKI. Karena datang dari pihak yang justru sedang rontok tingkat kepercayaan rakyat terhadap mereka. Kalau ada yang bilang pihak Foke-Nara-lah yang melakukan politik uang, mengingat dana kampanyenya yang tujuh kali lipat dana kampanye Jokowi-Ahok, rakyat pasti lebih percaya.
Dana kampanye Foke-Nara Rp. 70 miliar, sedangkan Jokowi-Ahok hanya Rp 9 miliar (Tempo.co. 16/07/2012).
Dengan dana sebesar itu, Foke-Nara dapat melakukan apapun demi kemenangan mereka. Iklan di televisi, media cetak dan internet, baliho-baliho, spanduk-spanduk, iklan di radio, dan mau di mana lagi? Tinggal dibilang, bisa mereka lakukan.
Sebagai calon gubernur petahana, Fauzi Bowo lebih terbuka kesempatannya untuk melakukan kecurangan-kecurangan. Bukan hanya dengan politik uang, tetapi juga dengan memanfaatkan birokrasi, jabatannya sebagai Gubernur DKI saat ini, data-data kependudukan DKI, jaringan-jaringan pemerintah DKI, dan sebagainya.
Maka, seperti yang sudah-sudah (dengan isu SARA-nya), cara menjatuhkan Jokowi-Ahok seperti ini justru membuat posisi Jokowi-Ahok semakin kuat. Sebaliknya, bagi Foke-Nara.
Pimpinan yang menghalalkan isu SARA demi kemenangannya tak bisa diharapkan sebagai pimpinan bagi semua golongan.
Belum lagi dengan melihat rekam jejak para juru kampanye Foke-Nara dari Partai Demokrat. Bagaimana bisa mereka diharapkan bisa menaikkan citra Foke-Nara, sedangkan citra diri mereka sendiri sedang merosot tajam.
Lihat saja tokoh-tokohnya. Ada Anas Urbaningrum yang citra politik dan dirinya sedang hancur di mata publik, justru berupaya meyakinkan warga DKI agar memilih Foke-Nara.
Ada juga Ruhut “Poltak” Sitompul yang suka asal membuka mulutnya itu.
Contoh terbaru, di acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One, Selasa, 17 Juli 2012, Ruhut Sitompul dengan lugas menfitnah kubu Jokowi-Ahok, yang dia katakan telah berkampanye dengan memanfaatkan isu SARA. Kata dia, kubu Jokowi-Ahok, telah berjanji kalau terpilih sebagai pasangan Gubernur DKI Jakarta, akan mempermudah pendrian gereja, dan akan membubarkan ormas-ormas garis keras. Padahal justru dengan pernyataannya itu – lagi-lagi – Ruhut sebagai kader Demokrat memanfaatkan sentimen SARA untuk menyerang Jokowi-Ahok.
Ruhut sebagai orang Kristen (?), tega memanfaatkan isu sentimen agama seperti itu dengan “mengorban” isu pendirian gereja sebagai tumbalnya. Ruhut tidak mampu dan merasa tidak berkewajiban untuk membuktikan ucapannya itu. Maka, bukan bertambah baik, justru sebaliknya. Akibat ulah tokoh-tokoh Demokrat seperti ini, suara Foke-Nara justru akan semakin terpuruk di putaran kedua.
Sempat beredar isu, bahwa demi memenangkan Foke-Nara, Demokrat akan menurunkan kekuatan pamungkasnya, yakni Ketua Dewan Pembinanya, SBY, akan turun tangan langsung untuk berkampanye demi kemenangan Foke-Nara.
Apakah tidak salah? Kalau SBY sampai turun tangan langsung, apakah bukan bikin tambah hancur? Ini sih namanya senjata pamungkas penghancur Foke-Nara. Mengingat citra diri dan tingkat kepercayaan rakyat (termasuk warga DKI) terhadap SBY juga sedang menuju titik nadir.
Setelah harapan dan andalannya kepada kekuatan parpol (dan lembaga survei?) ternyata tak sesuai harapan, Foke baru mau datang ke rakyat Jakarta. Berupaya mencitrakan dirinya sebagai pimpinan yang merakyat. Sebentar lagi, mungkin kita akan melihat Foke naik kereta api, bus, dan angkot. Makan di warung kaki lima, dan sejenisnya.
Apalagi dari berita terkini hasil rekapitulasi Pilkada DKI Jakarta itu dari KPUD Jakarta semakin memastikan kekalahan telak Foke-Nara. Dari enam wilayah DKI, lima wilayah dimenangkan oleh Jokowi-Ahok. Foke-Nara hanya menang di satu wilayah, yakni Kepulauan Seribu yang memiliki dua kecamatan (Jawa Pos, 18/07/2012).
Di kandangnya sendiri, Foke-Nara juga kalah telak dari Jokowi-Ahok. Di Kelurahan Gondongdia, Menteng, Jakarta Pusat, wilayah tempat Foke berdomisili dan mencoblos, Foke-Nara hanya mendapat 620 suara, sedangkan Jokowi-Ahok mendapat 1.073 suara (detik.com, 18/07/2012).
Parpol pendukung seperti PAN, para petingginya mulai menjauhkan diri dari Foke. Foke sudah tidak bisa lagi mendekati PKS, karena sudah berhasil didahului oleh Jokowi.
Para petinggi PAN pun merasa tidak suka dengan perilaku Foke yang dinilai terlalu percaya diri (PD) dan angkuh, serta tampak suka marah-marah. Oleh karena itu mereka menghukumnya dengan tidak memberi dukungan penuh kepadanya. Mereka yang mempunyai hubungan erat dengan akar rumput, memilih tidak memanfaatkan kedekatannya dengan rakyat itu demi memenangkan Foke-Nara. Seperti dikatakan oleh Drajat Wibowo dan beberapa tokoh PAN lainnya, yang bisa dibaca di dua artikel di bawah ini:
- Drajat Wibowo: Foke Angkuh, Sombong dan Kepedean
- Tokoh PAN sengaja Tak Bantu Menangkan Foke
Setelah meninggalkan rakyatnya, kini Foke baru mau datang kepada rakyat (warga) DKI untuk diambil hatinya. Tetapi, semua itu sudah terlambat.
“Terlambat sudah kau datang padaku, setelah ku dapat penggantimu. Kini hatiku tertutup untukmu …” kata warga DKI yang mendapat pengganti si Foke, yakni Joko Widodo alias Jokowi, seperti lirik lagu tempo dulu, yang dipopulerkan Panbers, yang berjudul Terlambat Sudah, dengan lirik di bawah ini, atau dengarkan lagunya dengan mengklik Youtube di bawah:
Terlambat Sudah
Terlambat sudah kau datang padaku
Setelah ku dapatkan penggantimu
Kini hatiku tertutup untukmu
Cukup sudah penderitaanku
Reff:
Mengapa dulu kau tinggalkan diriku
Tanpa pesan apapun padaku
Kala itu cintaku sedang tumbuh
Kau biarkan menjadi layu
Kini kau datang lagi padaku
Setelah kau siksa diriku
Terlambat sudah
Terlambat sudah
Semuanya t’lah berlalu
Sumber : http://kompasiana.com/post/politik/2012/07/18/ketika-si-foke-terlambat-datang-ke-rakyat-dki/
Komentar