Ali Moertopo




“Rakyat ibarat singa sirkus, jika perut mereka kenyang mereka akan mau diperintah apa saja, tetapi jika perut mereka lapar, mereka tidak segan-segan memangsa pawangnya sendiri” (Letnan Jenderal Ali Moertopo)

”Walau dia (Ali Moertopo) aneh, tidak sedikit jasanya kepada negara dan bangsa, terutama pada permulaan orde baru” (Jenderal Soemitro)

----------------------------------------------------------
Menurut Harold Crouch dari Cornell University sebagaimana yang dikutip oleh David Jenkins (2010), menyebutkan bahwa ketika Soeharto meraih kekuasaan pada pertengahan 1960-an ia menyandarkan diri kepada sekelompok kecil penasehat dari Angkatan Darat dimana pada bulan Agustus 1966 ia membentuk staf pribadi (SPRI) yang terdiri dari enam perwira tinggi AD serta dua tim sipil para spesialis bidang ekonomi.

Pada tahun 1968 SPRI beranggotakan 12 orang. Mereka dipandang sebagai ”pemerintah bayangan” yang punya kekuasaan lebih besar dibanding kabinet, utamanya dalam penyusunan kebijakan. Para anggota SPRI bertanggung jawab terhadap soal-soal keuangan, politik, intelejen dalam dan luar negeri, kesejahteraan sosial juga dengan ’masalah umum’ dan ’masalah khusus.

Beberapa nama yang cukup terkenal di barisan SPRI antara lain Alamsjah Ratu Perwiranegara, Ali Moertopo, Sudjono Humardani, Yoga Sugama, Benny Murdani, Sudomo, Ibnu Sutowo termasuk Sutopo Juwono yan juga disebutkan sebagai bagian SPRI. Meski secara organisasi SPRI dibubarkan pada bulan Juni 1968 akibat tuntutan dari masyarakat dan mahasiswa, namun secara informal mereka tetap merupakan orang-orang andalah Suharto di bidang politik, intelijen serta pertahanan-keamanan.

Sementara itu untuk urusan ekonomi dan keuangan Suharto mengandalkan pada lulusan muda Berkeley seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim dan Mohammad Sadli. Tonggak para ’Mafia’ Berkeley sebagai penentu garis kebijakan ekonomi orde baru muda dipancangkan pada minggu kedua bulan Januari 1966, di Fakultas Ekonomi Indonesia ketika dilangsungkan suatu seminar ekonomi mengenai ’Trace Baru Ekonomi Indonesia’ yang kemudian disusul dengan seminar Angkatan Darat II yang diadakan di Bandung untuk membenahi kemelut perekonomian pasca Bung Karno.

Salah satu tokoh utama SPRI yang menjadi tangan kanan Suharto untuk melakukan ’operasi khusus’ yaitu operasi-operasi yang bersifat non-formal namun taktis dan strategis sehingga memuluskan serta menjadikan jalan tol bagi semua rencana-rencana Suharto di awal orde baru adalah Ali Moertopo. Dia adalah mantan bawahan Suharto di Kodam Diponegoro sekitar akhir tahun 1950-an, yang pada waktu itu berpangkat Letnan Kolonel, begitu pula ketika Brigadir Jenderal Suharto memimpin Cadangan Umum Angkatan Darat, Ali menjadi bawahannya kembali dengan jabatan sebagai Asisten Kepala Staf.

Ketika berada di Kodam Diponegoro, Ali Moertopo bersahabat erat dengan seorang mistik Jawa yang bernama Sudjono Humardani yang menjabat sebagai staf bagian keuangan. Saking eratnya persahabatan mereka sampai-sampai Ali Moertopo mengatakan ketika ia mendapatkan bintang dua di pangkatnya, ”Kalau saya dinaikan dua bintang tapi Sudjono Humardani belum, maka saya belum mau pakai bintang dua ini”. Keduanya juga saling mengisi, jika Ali jagoan tempur dan intelejen, maka Sudjono pintar mencari uang. Di kemudian hari Sudjono biasa ikut membantu mencarikan kebutuhan dana bagi opsus. ”Mbah (begitu panggilan Ali kepada Sudjono) perlu uang 300 juta nih”. ”Wis gampang, aku carikan”, begitu jawab Soedjono biasanya.

Konon kabarnya pula, Sudjono ini kelak menjadi penasehat spiritual bagi Suharto bahkan kata-kata ”aliran kepercayaan” dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah berkat usulannya.

Ketergantungan Suharto terhadap Ali nampaknya cukup besar dalam melaksanakan program-program pembangunan ekonomi, ia butuh seorang ’free wheeler’ untuk membuat suhu politik serta pertahanan-keamanan stabil karena pada era sebelumnya pembangunan ekonomi selalu tersendat disebabkan kekisruhan ideologi dan politik. Disamping itu juga sisa-sisa kader, simpatisan nasakom masih bergentayangan mengancam kabinet orde baru muda disamping ancaman yang berasal dari intelektual partai-partai lama seperti PSI ataupun golongan Islam. Maka mutlak adanya rekayasa politik, pertahanan keamanan dan intelejen.

Langkah awal Ali Moertopo menstabilkan kondisi politik adalah dengan cara memperkuat Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), suatu organisasi non partisan bentukan Angkatan Darat di tahun 1964. Pelaksanaan opsus untuk memperkuat Sekber Golkar dilakukan dengan jalan intervensi ke dalam rapat-rapat atau musyawarah partai-partai yang masih eksis, untuk kemudian ”memanipulasi” konvensi-konvensi partai yang telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan.

Target pertama adalah partai nasionalis terbesar, PNI. Opsus yang dijalankan berhasil mengangkat Hadisubeno dan menyingkirkan Hardi yang dikenal sebagai pengecam peranan dwifungsi ABRI. Lalu diikuti dengan rekayasa terhadap partai kecil IPKI dan kelompok nasionalis lainnya, sehingga konggres tahunan pada bulan Mei 1970 menghasilkan pimpinan yang pro pemerintah. Tindakan yang sama juga menimpa PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Kongres 22 Oktober 1970 berakhir dengan kekisruhan besar karena munculnya dua badan eksekutif sekaligus, yang salah satunya memperoleh dukungan dari Opsus. Operasi-operasi yang serupa dalam waktu hampir bersamaan ditujukan kepada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Persahi (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia)

Opsus juga menargetkan dari kalangan politik Islam salah satunya rekayasa terhadap Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), wadah aspirasi politik golongan Islam kota/modernis dengan basis massa dari Masyumi. Sementara terhadap Islam tradisonal dilakukan penggalangan melalui massa GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam) yang mana selanjutnya secara efektif menggarap massa Islam tradisonal untuk ditarik masuk ke dalam Golkar.

Secara umum tugas opsus adalah menyelesaikan dengan mendobrak dan merekayasa dalam jangka pendek (cepat), guna menciptakan struktur politik yang terbebas dari nasakom dan mendukung kepemimpinan orde baru. Intinya semua partai dan organisasi sosial politik kemasyarakatan direkayasa dengan tujuan untuk membangun poros Pancasila.

Hasil kemenangan Golkar pada pemilu tahun 1971 menandai keberhasilan dan kehebatan opsus-nya Ali Moertopo, sehingga membuat pamornya naik di mata Pak Harto. Ia adalah tokoh yang mendapat tugas langsung dari Pak Harto untuk suatu tugas ’conditioning’, dalam konteks pengamanan Pancasila dari kekuatan ekstrim manapun. Sejarah mencatat opsus memainkan peranan penting dan disegani sekaligus ditakuti dan dibenci lantaran dianggap sebagai suatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendak.

Pada saat itulah munculah ambisi-ambisi terpendam dari Ali Moertopo untuk menjadi kepala intelejen/Bakin yang diduga sebagai batu loncatan memuluskan jalannya untuk menjadi RI-1. Dualisme operasional intelejen (Bakin dan Opsus) yang membuat tugas intelejen negara tumpang tindih menyebabkan Suharto bertambah yakin untuk menempatkan Ali Moertopo di Bakin, juga karena Ali memang ”meminta secara tidak langsung” jabatan tersebut. Awalnya Ali dinominasi sebagai kepala Bakin menggantikan Jenderal Yoga Sugama, namun atas desakan Jenderal Sumitro selaku Pangkopkambtib akhirnya Suharto memilih Sutopo Juwono sebagai kepala Bakin dan Ali Moertopo sebagai deputi. Dimulailah perjalanan Ali Moertopo membangun kekuatan sosial politiknya.

Ada cerita dibalik penggantian Yoga Sugama sebagai kepala Bakin, yaitu pada saat perjalanan Yoga ke Jerman Barat untuk memberikan ’briefing’ kepada seluruh atase militer Indonesia di Eropa ia kehilangan tas yang berisi dokumen-dokumen penting. Presiden Suharto mendapatkan laporan bahwa dokumen tersebut hilang di tempat Yoga menginap dan ”ada wanita masuk ke hotel itu”. Tetapi di dalam buku ”Memori Jenderal Yoga” disebutkan bahwa tas tersebut hilang ketika transit di Singapura. Entah siapa yang menghembuskan laporan ’palsu’ jika Yoga menginap di suatu hotel dan kehilangan tas yang berisi dokumen-dokumen penting tersebut apalagi dikait-kaitkan dengan wanita.

Integrasi opsus dan Bakin yang diharapkan oleh Suharto rupanya tidak terjadi bahkan menimbulkan keretakan di internal Bakin karena Suharto tidak membubarkan opsus secara resmi, sehingga Ali Moertopo semakin memainkan kartu as-nya ketika berada di Bakin apalagi ketika itu dia membawa gerbongnya sendiri seperti Kolonel Sumardan, Kolonel Marsudi, Letkol Pitut Suharto, Letkol Alexiyus Sugiyanto dan Letkol Suhardi Utomo.

Salah satu operasi yang ”tidak disetujui” oleh koleganya di Bakin (seperti Jenderal Nicklany) adalah menarik mantan anggota DI/TII yang sudah dibina oleh Kodam Siliwangi untuk dibina di Bakin termasuk anak dari SM. Kartosuwirjo, Dodo Kartosuwirjo (hal ini juga berlaku untuk daerah lain dimana Pitut merekrut Haji Ismail Pranoto-Hispran di Jawa Timur) termasuk juga memanfaatkan orang-orang eks-Permesta seperti Kolonel Somba, Kolonel Lendi Tumbelaka dan lainnya sambil berkilah, ”Kalau mereka dilepas akan liar, maka lebih baik kita kandangkan”. Ali kelihatannya sangat fanatik dengan teori ”tidak ada kawan ataupun lawan”, siapapun kalau menyokong akan dijadikan kawan.

Pola tunggal yang biasa diterapkan oleh opsus untuk merekrut anggota jaring (anggota tidak tetap) adalah memberikan perlindungan dan insentif materi. Contohnya adalah Bambang Trisulo, seorang Soekarnois. Setelah pemberontakan PKI 1965, ia dikejar-kejar orang mau dibunuh, namun demikian Ali Moertopo datang bak dewa penyelamat untuk memberikan perlindungan. Di kemudian hari, sebagai balas budi, Bambang Trisulo membongkar dan mengumpulkan kekayaan mantan Waperdam I Soebandrio hasil penyelundupan di zaman Bung Karno yang disimpan di Aceh untuk diserahkan kepada Ali Moertopo. Demikian pula pola yang sama dia terapkan untuk merekrut tokoh-tokoh preman Senen-Tanah Abang seperti Roy Simanjuntak.

Selain hendak menguasai Bakin, Ali rupanya juga melakukan ekspansi ke dunia intelektual, dengan menggandeng komunitas intelektual Cina Katholik dia mendirikan suatu lembaga studi yang dikenal sebagai CSIS (Center for Strategic and International Studies). Beberapa nama lulusan Universitas-universitas Eropa ternama menghiasi daftar anggotanya seperti Pang Lay Kim, Soedjati, Harry Tjan Silalahi, Daoed Joesoef dan Hadisoesastro. Tidak segan-segan dia membandingkan kehebatan intelektual CSIS dengan Mafia Berkeley-nya Pak Harto. Namun demikian Mafia Berkeley-nya Pak Harto masih lebih ’kiri’ dibandingkan CSIS-nya Ali Moertopo yang mengusung agenda liberalisasi ekonomi.

Kelebihan CSIS-nya Ali Moertopo dibandingkan Mafia Berkeley-nya Soeharto adalah pada tahun 1972, CSIS menerbitkan buku setebal 125 halaman dengan judul ”Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 tahun”, artinya CSIS meletakan dasar-dasar pembangunan jangka panjang, sementara itu Mafia Berkeley hanya menjalankan politik ekonomi ’rescue’ jangka pendek dan menengah. Maka mulai saat itu mau tidak mau Suharto menerima CSIS sebagai mitra strategis pemerintah, khususnya sebagai konsultan di bidang perekonomian, untuk menutupi kesan ia tidak memiliki agenda ekonomi jangka panjang. (Manuver CSIS ini menyebabkan Jenderal Sumitro menyerukan didirikannya pusat-pusat studi di kampus-kampus negeri di seluruh Indonesia)

Dan akhirnya manuver Ali Moertopo pun masuk ke dunia mahasiwa terutama di Universitas Indonesia (UI), penetrasi opsus melalui beberapa mahasiswa binaannya seperti Aulia Rahman, Freddy Latumahina, Posdam Hutasoit dan Leo Tomasoa (kelompok 10) berhasil menaikan Hariman Siregar menjadi ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM-UI), suatu jabatan yang sangat ’prestige’ di kalangan mahasiswa pada saat itu. Kemenangan Hariman atas Ismet dari HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dengan perbedaan suara tipis (26 berbanding 24 suara) merubah konstelasi pergerakan politik mahasiswa Universitas Indonesia yang pada tahun-tahun sebelumnya dikuasai oleh HMI.

Pada awalnya Hariman dan teman-temannya seperti Marsilam Simanjuntak dan Yopie Lasut tidak menyadari bahwa ia berada dalam ’permainan’ opsus Ali Moertopo, namun setelah mengetahui bahwa dirinya dibantu oleh opsus menjadi ketua DM-UI pada sekitar tahun 1973, dia berbalik sikap 180 derajat dan menolak menjalankan agenda-agenda opsus yang merupakan agenda Ali Moertopo termasuk pada peristiwa Malari 1974. Bahkan kemudian ia menjadi lawan potensial melalui gerakan-gerakan mahasiswa menyerang Aspri/SPRI dan Ali-Soedjono.

Bersambung ...

Sumber Bacaan :

Memori Jenderal Yoga. B.Wiwoho & Banjar Chaeruddin. PT. Bina Resa Pariwara. Juni 1990.

Soeharto & Barisan Jenderal Orba. David Jenkins. Komunitas Bambu. 2010

Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974. Heru Cahyono. Pustaka Sinar Harapan. Januari 1998.
facebook : Pelabuhan kecil 19102010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tongkat Pramuka

3 Tokoh Wanita yang Berperan Dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia